Friday, May 19, 2017

DUA DUNIA: Chapter 1: Mimpi

Malam itu aku bermimpi diriku berada di tengah-tengah gelombang besar. Terumbang-ambing di lautan yang luas. Tidak terlihat daratan. Hanya lautan yang tenang, langit yang biru dan aku. Meskipun aku berusaha sekuat tenaga untuk berteriak memanggil semua yang kukenal, ibuku, ayahku, adikku tetapi yang tersisa hanya aku. Anehnya, lautan itu tidak membuatku tenggelam. Aku hanya terapung sendiri seperti sebutir debu di tengah-tengah semesta. Sendiri. Tetapi, lama-kelamaan kesadaranku kembali. Segala-galanya gelap.

Aku terbangun dan menatap sekelilingku. Gelap. Aku mengucek mataku dan berusaha untuk meraba-raba sekelilingku. Aku hanya bisa merasakan tanah dan bebatuan. Aku kesulitan untuk bernapas. Udaranya seperti kotor. Tercium bau aneh. Busuk. Pelan-pelan terlihat sesuatu di ujung sana.

Di ujung sana seperti ada cahaya. Samar-samar. Seketika aku mendengar teriakan yang mengguncang. Bukan satu tetapi banyak. Teriakan itu semakin lama semakin keras. Mereka seolah-olah meminta pertolongan. Aku berusaha untuk bangkit dan mengejar cahaya tadi. Namun, tubuhku berat. Tidak! di mana tubuhku?!

Pagi itu, dua minggu setelah tragedi yang menimpa diriku, dokter mengizinkan aku kembali ke rumah. Aku berusaha untuk mengumpulkan segenap kekuatanku kembali. Ingatanku tentang tragedi itu masih samar-samar. Luka benturan dikepalaku masih membekas. Perbannya harus diganti tiap hari. Bekas jahitan juga terlihat di dahiku. Punggungku perih. Luka bakar yang kudapatkan masih basah dan perih. Dokter memberikan resep obat yang harus diminum. Meskipun aku adalah orang yang paling tidak suka pada obat tetapi dia sering mendesakku. Namanya Winda. Orangnya secantik namanya. Selama aku di rumah sakit, dia selalu menjagaku. Ketika aku tenggelam dalam tidurku, Ketika aku terkatung-katung sendiri di tengah lautan dalam mimpiku, dia hampir tidak tidur untuk mengurusiku. Sekarang, dia berada disampingku, menemani aku untuk keluar dari tempat yang kubenci ini. Orang tuaku?

Namaku Yuda. Usiaku baru menginjak 20 tahun. Aku adalah seorang mahasiswa semester lima jurusan teknik komputer di salah satu kampus di ibu kota. Aku tinggal di sebuah rumah warisan orang tuaku di Jakarta Selatan. Orang tuaku telah meninggal dunia 5 tahun yang lalu dalam sebuah Kecelakaan pesawat. Puing-puing pesawat itu bersemadi di dasar laut Selat Makassar. Mereka juga berbaring tenang di sana, tanpa nisan. Aku memiliki seorang adik kembar. Namanya Yudi. Mirip hampir 100 persen diriku. Dia cuma terlambat lima menit setelah aku menghirup udara dunia. Dialah satu-satunya keluarga yang kumiliki. Teman yang bisa diajak bercanda bahkan berantam. Orangnya periang tetapi terkadang menyebalkan.

Winda menyetir mobil pada kecepatan sedang. Kiri kanan jalan terlihat kesibukan para pedagang asongan yang menawarkan jualan mereka. Trotoar yang seharusnya menjadi hak pejalan kaki dipenuhi oleh para pedagang yang menjajakan jualannya. Bahkan ada yang membangun kios semi permanen di situ. Kemacetan membuatku tidak betah. Winda masih fokus pada kemudinya tetapi dia sesekali tersenyum melihatku yang sepertinya ingin cepat-cepat sampai di rumah dan memang itu yang aku inginkan sekarang.

'Kita mampir di warung itu dulu'

Aku hanya mengangguk mendengarkan sarannya. Perutku masih belum terisi apa-apa sejak pagi tadi. Bukan berarti Winda tidak membawakan aku makanan tetapi makan dalam kondisi diinfus dan dikelilingi bau obat-obatan membuat nafsu makanku buyar. Terkadang aku hanya makan sedikit roti dan buah, sekedar untuk mengganjal rasa lapar. Tetapi jika Winda memaksaku makan, kemudian mendengarkan omelannya, maka saat itu aku harus makan meskipun sulit untuk menelan.

Winda adalah sahabatku dari SD. Dia juga anak dari salah satu konglomerat di Jakarta. Orangnya ramah dan peduli tetapi terkadang terlalu protected. Mungkin karena ketika masih SD, aku sering di buli oleh teman-temanku karena perawakanku yang kecil dan pendiam. Winda selalu hadir untuk menyelamatkanku. Pernah suatu ketika aku terjatuh dari pohon. Tulang tangan kananku patah. Aku menangis sehabis-habisnya. Disaat yang sama dia memberikan pertolongan cepat berdasarkan apa yang dipelajari di sekolah. Sampai hari ini terkadang aku kesulitan untuk memegang sesuatu. Mungkin efek ketika aku jatuh itu.

Sekarang gadis sang penyelamat itu telah dewasa. Dia telah bekerja di perusahaan ayahnya. Kebetulan dia tiga tahun lebih tua dari usiaku. Tahun ini adalah tahun pertamanya bekerja setelah selesai kuliah di kampus yang sama denganku.

Kami melangkah masuk di warung itu Nasi Padang. Kami disambut oleh seorang pelayan yang tersenyum ramah. Aku melihat makanan khas padang yang menggugah selera. Semuanya disajikan secara prasmanan. Setelah mengambil makanan, kami memilih untuk duduk di salah satu sudut warung. Terlihat aneka foto tergantung di dinding. Tetapi yang membuat menarik adalah dekorasinya yang berkonsepkan tradisi Minang. Terpampang foto seorang kakek di salah satu sudut warung. Matanya seolah-olah menatapku.

"Kamu tidak apa-apa yuda? Dari tadi saya liat kamu aneh"

Aku menatap Winda yang sedang mengaduk-aduk nasinya. Dia menatapku. Aku hanya menghembuskan napas dalam-dalam.

"Ya.. biasa saja. Mungkin aku bosan liat yang itu-itu saja di RS"

Tiba-tiba dia berenti secara refleks.

"Jadi kamu bosan liat aku?"

Nah, seketika aku bingung sendiri. Ini pertanyaan yang menjebak dari seorang wanita. Dan aku harus cepat-cepat keluar dari situasi itu.

"Tidak begitu maksudku. Kamu taukan aku tidak suka yang namanya rumah sakit. Jadi aku enjoy liat kota Jakarta. Bosan tau tinggal baring mulu"

Winda tertawa. Dia masih belum menyentuh makanannya. Kelihatan dia sangat capek. Kesibukannya di kantor dan menjagaku cukup menguras tenaganya.

"Yuda, ayo makan. Kamu itu butuh makan dan istirahat."

Aku mengangguk. Tapi pikiranku masih terbayang-bayang kejadian itu. Tapi masih samar-samar. Seolah-olah ada tembok besar yang menghalangi ingatanku. Selama di rumah sakit, aku berusaha untuk mengingat apa yang terjadi sebelumnya tetapi gagal. Mungkin akibat benturan keras di kepalaku memoriku koslet.

"Yuda, helloww .. kok bengong lagi. Ayo makan"

Aku tersadar dari lamunanku. Winda memukul-mukul piringku dengan sendok.

"Ah... ya ya"

Kami segera menyantap makanan di atas meja. Aku makan dengan lahap. Seandainya Winda menawari aku makanannya, mungkin aku dengan tangan dan mulut terbuka siap menerima.